IDA BANG MANIK ANGKERAN BERJUMPA KI DUKUH MURTHI
Diceriterakan sekarang, pada suatu hari. Ida Sang Pendeta
Danghyang Bang Manik Angkeran berjalan menuju ke arah Barat Laut, ke arah tempat
kediaman Ki Dukuh Murthi. Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau di
hutan Jehem, kemudian, menuju Padukuhan, dan berjumpa dengan Ki Dukuh Murthi.
Keduanya kemudian berbincang-bincang mengenai mertua Sang Pendeta yakni Ki
Dukuh Belatung yang sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang bersaudara dengan Ki
Dukuh Belatung. Pada saat itu Ki Dukuh Murthi memiliki seorang anak wanita yang
sangat cantik bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu dipersembahkan oleh Ki Dukuh
kepada Sang Pendeta, sebagai haturan utama yang tulus ikhlas, bukti besar
bhaktinya Sang Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai pengikat hingga kelak di
kemudian hari. Beliau Sang Pendeta sangat mencintai dan mengasihi Ni Luh
Canting, serta bertemu cinta didasari rasa kasih sayang yang suci. Namun karena
ada pekerjaan yang sangat mendesak serta didatangi oleh warga desa-desa lain
untuk memberikan pelajaran pengetahuan keagamaan, tergesa-gesa beliau
meninggalkan Ni Luh Canting untuk melanjutkan perjalanan memberikan petuah
kepada warga desa-desa lainnya.
Ni Luh Canting kemudian hamil, dan lama-kelamaan melahirkan
seorang putra yang tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan Sira Agra
Manik kembali ke Besakih, sehubungan dengan pesan ayahandanya untuk
menghaturkan Lawangan Agung.
Dengan demikian Ida Danghyang Bang Manik Angkeran memiliki
putra empat orang, yakni Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa, Ida Bang
Wayabiya dan Si Agra Manik, yang keturunannya kemudian bernama Catur Warga.
IDA DANGHYANG BANG MANIK ANGKERAN
BERPULANG KE SUNYALOKA
Patut diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari,
menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan
ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu
sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian
Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya
keberadaan sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih,
tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik
Angkeran melaksanakan swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta
putranya tiga orang di Besakih, maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari
harus kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian
sang istri. Beliau mengintip isterinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala
isterinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb -
penutup alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih
seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai
saat itu Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan
menghaturkan sembah: "Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di
sini dinda mengabdikan diri - bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian
kita. Dinda sekarang, akan memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk
pulang kembali ke Sorgaloka".
Sang Pandita kemudian berkata halus: "Nah, kalau begitu
Silakan adinda pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan
dinda". Sang Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik
Angkeran selalu melaksanakan Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan
lagi, beliau menyadari akan segera kembali pulang ke Sunyaloka, lalu beliau
memanggil putranya bertiga, memberitahukan bahwa putranya bertiga memiliki
kakek di Jawa, yang bernama Ida Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang
dua orang itu, beliau memberikan petuah yang sangat bermakna: " l Dewa,
Bang Banyak Wide, l Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga
yang sangat ayahanda cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu
berdua, akan meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan
diri ananda dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya
tetap satu! Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta
senantiasa bhakti menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida
Bhatara Basukih. Tidak boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu
ini". Demikian nasehat Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya
bertiga.
Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana,
moksa dengan Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua,
karena keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan.
Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun
demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena
ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida
Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik,
belum ada dan belum berdiam di Besakih.
Tidak terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal
oleh ayah ibunya semua, lalu ada keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan
berbincang dengan kedua adiknya. Setelah semuanya duduk, maka berkatalah Ida
Bang Banyak Wide "Inggih, adikku berdua, yang kanda kasihi dan cintai.
Teringat kanda dengan petuah Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang bernama,
mohon maaf, Ida Danghyang Siddhimantra, bertempat tinggal di Pulau Jawa,
tepatnya di daerah Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah kita
pergi ke sana, bersembah sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang- kakek kita,
agar kita mengetahui keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang
mengatakan , tahu akan nama namun tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda
pikir, mungkin sekali Ida l Kakiyang - kakek kita tidak tahu sama sekali akan
keberadaan kanda dinda, karena tidak ada yang menceriterakan perihal keberadaan
ayahanda kita serta kita bertiga".
Baru didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah
Ida Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan: "Inggih palungguh kanda,
mengenai perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun mohon
dimaklumi, bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal keinginan
kanda , disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali.
Dinda sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa, untuk
menghadap kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat
tinggal di sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa
mengikuti kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang
melanjutkan yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini
di Besakih, seperti menjadi petuah dari ayahanda".!
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: "Inggih
palungguh kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan
karena kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui.
Yang nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan
kakanda. Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi
dinda, karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda,
seperti pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan
menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida l
Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan
kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan
Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali ".
Baru mendengar hatur adik-adiknya berdua, lama Ida Sang
Banyak Wide berdiam, berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan
mereka saling mengasihi satu sama lainnya. Kemudian beliau berkata:
"Inggih, kalau demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di Bali agar
ada, ke Jawa, menurut kanda, juga agar ada yang memberitahukan perihal keadaan
kita di Bali ini, seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru. ltu sebabnya
perkenankan kanda akan sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l
Kakiyang. Namun ada petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi
berada di sini bersama dinda berdua, di mana saja mungkin kanda - dinda
berdiam, kalaupun kanda - dinda menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya
tidak kita lupa bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian
hari. Ingat betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu
tunggal, Ayu kabeh. Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu
orang mendapatkan kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar
semuanya merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau
tidak kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu
serta mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian hari".
Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua
apa yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l
Kakiyang". Demikian hatur adiknya berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada
saudaranya berdua, seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak
Wide, demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan
jurang yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali
kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang
Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya,
tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu,
di sana berharap untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau
bermalam di mana beliau mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya
beliau menumpang di tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah
hutan, dan paksa tidur di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan
orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.
Singkat ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri
Daha. Terkesan beliau akan keadaan negeri itu yang demikian ramai dan indah.
Berbeda sekali kalau dibandingkan dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya.
Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batu
bata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus - bagus. Jalannya juga
lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau
ada sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang
kori agung Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai
kecil: bale panjang layaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di
sana lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab
mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah
terlelap. Ternyata itu ternyata sebuah Griya - tempat seorang pendeta yang
bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat
sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah
duduk-duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu,
tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya.
Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan
hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk
berjalan-jalan, tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang
jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya seraya berkata: " Uduh
kaki, ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal, eman-eman warnanta masmasku.
Mwang siapa puspatanira ? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti
maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian
ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu . Siapa namamu, serta apa keluarga
dan kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya !"
Kemudian Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya
menghaturkan sembah bakti "Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah cucu
dari Sang Pendeta Siddhimantra, ayahanda hamba adalah Sang Pendeta Angkeran.
Nama hamba Sang Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah ingin bertemu dengan
kakek Kakiyang hamba di Griya Daha, Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu".
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi
sangat terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata: "Aum cucuku tercinta,
kalau demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini
memiliki hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu
sekarang yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan
cucunda pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi
kakekmu ini yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab
kakekmu ini tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki
seorang, bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena
membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung - tidak berketurunan kakekmu
ini, semoga berkenan cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan
memelihara tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang
memerintah di kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda
memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan,
karena itu sekarang cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa
yang cucunda jadikan pegangan ".Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida
Bang Banyak Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga
akhirnya Ida Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat - kadharma
putera.
Sangatlah sukacita perasaan Sang Pendeta. sangat dimanja
putranya Ida Bang Banyak Wide. Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida
Sang Bang Banyak Wide di Griya Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah.
Ida Bang Banyak Wide Menyunting I Gusti Ayu Pinatih
Diceriterakan sekarang, betapa bahagianya hati Ida Mpu
Sedah, Ida Wang Bang Banyak Wide - putra angkatnya sangat disayanginya. Singkat
ceritera, sekarang Ida Bang Banyak Wide sudah berdiam di Geria Daha, di Geriya
kakek beliau Ida Mpu Sedah.
Dikisahkan kemudian Ki Arya Buleteng, yang menjadi patih di
Kerajaan Daha, mempunyai seorang putri benama I Gusti Ayu Pinatih. I Gusti Ayu
Pinatih, tatkala itu sudah remaja putri, parasnya cantik nian, bagaikan Dewi
Saraswati nampaknya, serta juga bijaksana dan memiliki ilmu pengetahuan yang
tinggi, cocok memang sebagai putri seorang bangsawan, serta sangat dimanja oleh
ayah bundanya dan semua keluarganya. Puri Ki Patih Arya Buleteng itu tidaklah
demikian jauh dari tempat tinggal Geria Ida Mpu Sedah, dan lagi pula sering Ida
Mpu Sedah beranjangsana ke Puri sang Patih. Demikian juga putra sang Mpu, Ida
Bang Banyak Wide, sering berkunjung ke Puri. Dan semakin lama semakin sering
sang teruna remaja berkunjung ke Puri, untuk menghadap kepada sang patih, namun
yang paling utama adalah untuk bertemu dengan I Gusti Ayu Pinatih.
Lama-kelamaan semakin bersemi cinta kasih di antara sang teruna dan sang dara,
tidak bisa dipisahkan lagi. Lalu diambillah I Gusti Ayu Pinatih oleh Ida Sang
Bang. Itu sebabnya marah besar Ki Arya Buleteng, disebabkan putri beliau
diambil oleh Ida Sang Bang Banyak Wide. Kemudian datanglah Ki Arya menghadap
sang Mpu, menyampaikan prihalnya beliau memiliki anak hanya sorang. Disebabkan
karena putra sang Mpu juga hanya seorang yakni Ida Sang Bang Banyak Wide, maka
menjadi sangat prihatin perasaan keduanya, dan berkehendak akan memisahkan
kedua teruna-daha itu. Tiba-tiba Ida Sang Bang Banyak Wide menghaturkan sembah
di hadapan Ida Mpu seraya mengatakan bahwa sama sekali beliau tidak mau
dipisahkan dengan I Gusti Ayu Pinatih. Kalau saja dipisahkan, tak urung mereka
akan membunuh diri berdua. Itu sebabnya beliau tak bisa berkata-kata. Kemudian
berkata Ki Arya Buleteng, menjelaskan keinginan beliau : ? Aum sang
mahapandita, jikalau begitu kehendak ananda sang Mpu, kalau menurut saya, kalau
saja ananda sang Mpu mau menjadi putraku, sampai di kelak kemudian hari, saya
berikan putri saya kepada ananda Sang Bang?, demikian atur Ki Arya Buleteng.
Belum selesai perbincangan beliau berdua, segera menghaturkan sembah Sang Bang
Banyak Wide : ?Duh, beribu maaf, ayahanda Ki Arya Buleteng serta ayahanda sang
Pendeta, jikalau demikian keinginan mertua nanda, ananda menuruti kehendak
mertua hamba, dan jika nanti hamba memiliki keturunan, agar menjadi Arya.
Anugrah Ida Mpu Sedah
Semakin tak bisa berkata-kata lagi Danghyang Mpu Sedah
mendengar atur putranya, namun sang Pandita menyadari bahwa semuanya itu adalah
kehendak Yang Maha Kuasa, lalu berkatalah beliau ?Ah anakku, juwita hatiku Sang
Banyak Wide, nah karena sekarang ananda berkehendak menjadi pratisentana -
putera dari Ki Arya Buleteng, maka dengarkanlah ini, tanda cinta kasihku
kepadamu anakku:
?Sloka: Wredhanam kretanugraham, jagadhitam purohitam,
wacanam wara widyanam, brahmanawangsatitah, Siwatwam, pujatityasam, trikayam
pansudham, kayiko, waciko suklam, manaciko sidha pumam. Puranam tatwam
tuhwanam, silakramam, sirarya pinatyam maho, witing kunam purwa Daham.?
Berkatalah kemudian Ida Sang Pandita: ?Aum, Sang bang,
inilah merupakan titah Yang Maha Kuasa, berupa aturan sidhikarana yang kakek
berikan kepadamu, perjalanan sejarah dan status brahmana yang dahulu, sekarang
menjadi Arya Pinatih, ini ada tanda kasihku padamu berupa keris sebuah, bemama
Ki Brahmana Siwapakarana - peralatan pemujaan pendeta, pustaka weda, itu semua
agar dipuja, sebagai pusaka yang berkedudukan bagaikan kawitan-leluhurmu,
sebagai pertambang jati dirimu sebagai Arya Bang Pinatih, yang berasal dari
brahmana dahulu. Ada nasehatku juga, kalau ada keturunan Arya Wang bang, tahu
tentang Filfasat Kedharman, kokoh melakukan tapa yoga brata, memiliki ilmu
pengetahuan yang berguna, pandai akan ilmu kerohanian, serta selalu
mengupayakan ketrentraman, menganut prilaku Brahmana Wangsa, dapat didiksa,
menjadi pendeta maharesi. Ingatlah hal ini.
Serta ada pula anugerahku, kepada mu, jika ada yang tahu
tentang siapa yang membawa pusaka itu di kemudian hari, menyucikan diri sanak
saudaramu kelak, dan bila sesudah meninggal, bilamana sanak saudara yang telah
menyucikan diri meninggal, jika melakukan upacara atiwa-tiwa - palebon, berhak
memakai sarana upacara seperti seorang brahmana lepas, berhak mempergunakan
padmasana, serba putih, serta segala sarana upacara sebagai sang brahmana,
pendeta.
Bilamana yang meninggal adalah walaka, bilamana memperoleh
kebahagiaan utama memegang kekuasaaan serta memiliki banyak rakyat, berhak
mempergunakan bade bertumpang 9, petulangannya lembu, semua sarana yang dipakai
ksatriya, terkecuali naga bandha, berhak dipakainya.
Serta bila walaka biasa meninggal, jika mengadakan upacara
atiwa-tiwa-pitra yadnya, berhak mempergunakan bade tumpang 7, serta sarananya,
demikian yang berlaku pada Arya Pinatih. Habis.
Serta prihal keadaan kacuntakan bagi Ki Arya Pinatih, yang -
karenanya ingatlah sampai di kemudian hari, jika meninggal bayi belum kepus pungsed, cuntakanya 7
hari, jika meninggal bayi sesudah kepus pungsed, cuntakanya 11 hari, namun
belum tanggal gigi. Jika ada yang meninggal sudah dewasa, remaja atau sudah
tua, cuntakanya satu bulan 7 hari. Jangan lupa pada nasehatku ini.
Serta ada lagi nasehatku, di kemudian hari, dalam hal
bersanak-saudara, jika ada orang luar desa datang, berkehendak untuk ikut menyungsung - menyembah Sanghyang
Kawitan Ki Brahmana serta Siwopakarananya, mengaku Sira Arya Pinatih, walaupun
orangnya nista madhya utama, janganlah ananda kadropon, perhatikan dahulu,
jikalau tidak mau anapak sahupajanjian Sanghyang Kawitan, bukan sanak saudaramu
itu. Jika dia mau anapak Sanghyang Kawitan walaupun nista, madya utama, sungguh
dia bersanak saudara denganmu, dan berhak ikut menyungsung bersama, bhatara
Kawitan, walaupun jauh tempat tinggalnya. Serta sanak saudaramu si Arya Pinatih
tidak boleh anayub dewagama lawan patunggalan dadya, jika melanggar nasehatku
ini, hala tunggal, hala kabeh - satu menemui celaka, semuanya celaka. Serta
kemudian tidak bisa disupat Sanghyang Rajadewa Kawitannya, oleh Pendeta Resi
Siwa Budha, serta jika melanggar seperti nasehatku ini. OM ANG medhalong, ANG
OM mepatang, ANG UNG MANG ti sudha OM NRANG OM. Semuanya paras paros, wetu
tunggal, demikian pahalanya, jangan tidak periksa. Kukuhkan dirimu dalam
mengamong kawitanmu, serta kukuh seperti nasehatku pada ananda, habis.?
Ida Bang Banyak Wide Berputra Ida Bang Bagus Pinatih /
Sira Ranggalawe
Setelah mencari hari baik, maka diselenggarakanlah upara
Perkawinan Agung di Puri Ki Arya Buleteng. Para raja-adipati, menteri-menteri
serta sanak saudara se wilayah Daha semua diundang, dan yang terutama diundang
adalah Ida Pendeta Siwa Budha yang akan memimpin upacara Pawiwahan - Pernikahan
Agung itu. Tidak bisa diperpanjang lagi prihal upacara Perkawinan itu, semua
rakyat menjadi riang dan gembira. Ida Sang Bang Banyak Wide sudah bertempat
tinggal di Puri Patih Arya Buleteng, serta memakai nama Sang Arya Bang Banyak
Wide. Kemudian I Gusti Ayu Pinatih melahirkan seorang putra laki-laki, dinamai
Ida Bang Bagus Pinatih, mempergunakan nama sang ibu. Pada hari tertentu,
diceriterakan anak Ida Bang Banyak Wide diculik oleh seorang raksasa. Namun
tiada berapa lama, ditemui I Raksasa beserta putranya di sebuah goa. Saat itu
Ida Bang Banyak Wide menghunus kerisnya Ki Brahmana. Baru keris itu dihunus
gemetar seluruh tubuh I Raksasa, kemudian memohon hidup. Katanya : ?Inggih,
sekarang ini agar tuanku suka memberi hidup kepada hamba. Dan sekarang saya
menaruh janji agar sampai kelak di kemudian hari turun temurun, sepanjang hidup
keturunan Tuanku, semoga tidak akan pernah dibencanai oleh kaum Durga?.
Demikian ucap I Raksasa yang bernama Buta Wilis itu, kemudian menghilang.
Singkat ceritera, Ida Bagus Pinatih sudah semakin besar, dewasa dan sudah
mengambil isteri serta memiliki putra yang bernama sama dengan nama
ayahandanya. Ida Bagus Pinatih juga bernama Pangeran Anglurah Pinatih atau Sira
Kuda Anjampiani. Demikian dulu keadaaannya di kawasan Daha.
Ida Bang Banyak Wide Membantu Raden Wijaya
Membangun Majapahit
Diceriterakan sekarang daerah Daha diserang oleh Raja
Singasari serta kemudian dikuasai oleh Singasari. Ida Bang Banyak Wide tatkala
itu menjabat sebagai Demang atau Patih pada saat pemerintahan Prabu Kertanagara
tahun 1272 Masehi. Lama kemudian para menteri yang sudah tua di Singosari
semuanya diturunkan pangkatnya masing-masing diganti dengan pejabat yang muda-muda. Saat
itu patih tua Rangganata diberhentikan. Ki Arya Banyak Wide diturunkan jabatannya
ke Sumenep menjadi Adhipati Madura bergelar Arya Wiraraja. Hal seperti itu
jelas menjadi bibit tidak baik di kemudian hari.
Lalu diceriterakan Prabu Singasari menyerang Tanah Melayu,
semua bala tentaranya dikirim ke Tanah Melayu. Tatkala sang Prabu bersenang-senang di Puri, Ida Arya
Bang Banyak Wide kemudian memberikan surat sindiran kepada Raja Daha yang
bernama Prabu Jayakatwang tentang leluhur beliau yang bernama Dandang Gendis
dirusak oleh sang Prabu Singosari. Patut sang Prabhu Daha membalas dendam
kepada Sang Prabu Kerthanegara. Pemberitahuan Adipati Banyak Wide diluluskan
oleh Sang Prabu Daha. Kemudian Singosari diserang oleh Daha, tidak urung
kemudian kalah Singasari.
Pada saat itu ada putra Singasari yang berama Raden Wijaya
secara sembunyi-sembunyi datang ke Madura, bermaksud bermitra dengan Adipati
Madura. Sesampainya di Madura, diadakan daya upaya, agar Raden Wijaya mau
menyerahkan diri kepada Prabu Kediri. Sang Bang Banyak Wide atau Arya Wiraraja
akan memohonkan jabatan untuk Raden Wijaya agar menjadi orang penting di
Keraton. Kemudian Raden Wijaya agar memohon kepada Raja agar diberikan hutan
Tarik dengan alasan untuk dipakai tempat raja bersenang-senang. Ida Bang Banyak
Wide sanggup akan memberikan bala sahaya serta Raden Wijaya agar memberitahukan
kepada rakyat di Tumapel ikut membuat tempat tinggal di alas Tarik.
Singkat ceritera, hutan Tarik itu sudah diberikan, kemudian
Raden Wijaya di tempat itu membuat pasraman, kemudian diberi nama tempat itu
Majapahit atau Wilwatikta disebabkan karena banyaknya buah maja yang pahit
ditemukan di sana. Disebabkan pekerjaan merabas hutan itu dipimpin oleh Ida
Bagus Pinatih, putra Ida Sang Bang Banyak Wide atau Arya Wiraraja, maka kepada
Ida Bagus Pinatih diberikan gelar sebagai Sira Ranggalawe.
Sekarang ada daya upaya dari Raden Wijaya akan menyerang
wilayah Kediri. Namun demikian Ida Arya Wiraraja atau Arya Bang Banyak Wide
memberitahu, agar menunggu kedatangan prajutir Tartar yang juga akan menyerang
Kediri. Arya Wiraraja sudah mengadakan perjanjian dengan Pasukan Tartar akan
secara bersama-sama menyerang Kediri. Di tahun Masehi 1292, kerajaan Kediri
kemudian diserang oleh prajurit Tartar dan prajurit Majapahit yang dipimpin
oleh Arya Wiraraja serta putranya Sira Ranggalawe. Ramai nian perang itu. Tanpa
disangka akhirya kalah Kediri serta Prabu Jayakatwang berhasil ditawan. Sejak
saat itu Raden Wijaya kemudian menjadi raja dengan gelar Srimaharaja
Kertharajasa Jayawardhana.
Sira Ranggalawe Memberontak
Dikisahkan sekarang Sira Ranggalawe menjabat sebagai Menteri
Amanca Negara, memerintah kawasan Tuban. Arya Wiraraja tidak diperkenankan
untuk berdiam di Madura, diperintahkan untuk bertempat tinggal di Majapahit,
sebagai Tabeng Wijang Ida Prabu Kertharajasa. Sejak saat itu Bhupati Arya
Wiraraja berganti gelar, dimaklumkan di seluruh penjuru negeri sebagai Rakriyan
Mantri Arya Adikara.
Diceriterakan Ida sang Prabhu di Majapahit menyelenggarakan
pentemuan besar membahas prihal rencana penunjukan Patih Amengkubhumi.
Kemudian, saat itu Ida Sang Prabu menunjuk Sira Patih Nambi menjadi Patih
Amengkubhumi. Keputusan itu kemudian didengar oleh Sira Ranggalawe, kemudian
beliau menghadap ke Kraton Majapahit, berhatur sembah kepada Ida Sang Natha
Kertharajasa, berkenaan dengan keputusan Ida Sang Prabhu, yang sudah diumumkan
di seluruh negeri yakni Ki Patih Nambi diangkat menjadi Patih Amengkubhumi,
hanyalah satu upaya yang tidak berguna, jelas negeri ini akan menjadi tidak
baik, sebab Ki Patih Nambi sudah nyata-nyata pengecut di medan laga. Yang
sebenarnya patut dipertimbangkan soal kesetiannya di medan perang hanyalah Ki
Lembu Sora atau diri beliau sendiri Sira Ranggalawe, yang patut diangkat
menjabat sebagai Patih Amengkubhumi. Itu sebabnya menjadi kacau pertemuan itu.
Diceriterakan sekarang, karena tidak dipenuhinya keinginan
Sira Ranggalawe, maka bermohon diri Sira Ranggalawe pulang menuju Puri Madura,
memberitahukan kepada ayahandanya prihal rencananya akan menyerang Majapahit,
akan menantang Ki Patih Nambi. Disebabkan karena tidak bisa lagi dihalangi keinginan
anaknya Sira Ranggalawe, maka Arya Wiraraja tiada bisa berkata lagi. Kemudian
menjadi riuhlah perang yang terjadi, bala tentara Sira Ranggalawe dihadapi
pasukan dari Majapahit. Sira Ranggalawe direbut. Akhirnya terjadilah perang
tanding antara Sira Ranggalawe melawan Kebo Anabrang , yang akhirnya keduanya
meninggal di medan laga di Sungai Tambak Beras.
Kemudian adalah utusan yang menghadap ke Purinya sang ayah
Sang Arya Bang Wiraraja. Singkat ceritera, sang utusan sudah berjalan untuk
menghadap Ki Arya Adikara di Puri Tuban, serta semuanya sudah dipermaklumkan
tentang sabda Raja Majapahit, serta segala hal yang berkenaan dengan wafatnya
Adipati Ranggalawe, dimana jenazahnya sudah berada di Puri Majapahit.
Arya Adikara, setelah mendengar atur sang utusan dari Puri
Majapahit, segera memberitahukan rakyat beliau, sanak saudara sampai kepada
cucunya untuk semuanya bersama-sama menghadap ke Puri Majapahit untuk
menyelesaikan tata upacara Palebon putra beliau. Setelah selesai upacara
palebon itu, Adipati Arya Adikara memohon diri dari Puri Majapahit diiringi
oleh isteri, menantu serta cucunya, kembali ke Puri Tuban.
Ida Bang Banyak Wide Memegang Kekuasaan di Lumajang
Tidak berapa lama, Ida Sang Prabhu kemudian memberikan
anugerah berupa sebagian kawasan timur sampai ke pesisir selatan kepada Sang
Arya Bang Wiraraja, disebabkan ingat dengan perjanjiannya dahulu. Sejak saat
itu Sira Arya Bang Wiraraja menjabat sebagai penguasa di kawasan yang bernama
Lumajang, diiringi oleh cucunya yang bernama Ida Bagus Pinatih atau Anglurah Pinatih atau juga
disebut Sira Arya Bang Kuda Anjampyani pada tahun 1295 Masehi.
Lama kemudian, ketika Ida Arya Bang Adhikara berumur tua,
tidak berselang lama beliau menjabat sebagai penguasa di Puri Ksatriyan
Lumajang, kemudian beliau wafat menuju Sorgaloka. Kemudian cucu beliau. Sira
Bang Kuda Anjampyani dijadikan pejabat di Majapahit menggantikan kedudukan
kakek beliau bergelar Kyayi Agung Pinatih Mantra. Inggih, hentikan dahulu
keberadaaan Ida Bang Banyak Wide di kawasan Jawa.
Para Raja di Jawa
Dikisahkan juga para raja yang berkuasa di Kerajaan
Majapahit. Sri Maharaja Kertharajasa Jawardhana yang menjadi raja pada tahun
1294-1309, digantikan oleh putranya Maharaja Jayanegara atau Kala Gemet dari
tahun Masehi 1309 sampai dengan 1328. Kemudian Bre Kahuripan /Tribuwana
Tunggadewi menjabat raja pada kurun waktu tahun Masehi 1328-1350. Beliau kemudian digantikan oleh Sri Hayam
Wuruk pada tahun Masehi 1350-1389. Pada tahun Saka 1258 atau tahun Masehi 1336,
Kriyan Gajah Mada diangkat menjadi Patih Amengkubhumi atau Mahapatih.
Kepandaran dan keperwiraan
sang mahapatih demikian terkenal sampai kelak di kemudian hari. Ada Sumpah
Amukti Palapa yang dikumandangkan oleh Kriyan Mahapatih Gajah Mada pada tahun
Masehi 1336 itu. Adapun isi Sumpah tersebut : ?Jika telah berhasil menundukkan
Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru,
Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru
beristirahat.?, demikian ucapan sumpah beliau ke hadapan sang ratu Rani
Tribuwanatunggadewi. Kemudian ternyata pada tahun Isaka 1265 Bali diserang.
Demikian keberadaan Ida sang Mahapatih Gajah Mada.
Ida Dalem Kresna Kapakisan Menjadi Raja di Bali
Sekarang kembali diceriterakan perihal di Pulau Bali.
Dikisahkan di Bali adalah raja bernama Sri Gajah Waktera yang dikatakan sebagai
seorang pemberani serta sangat sakti. Disebabkan karena merasa diri sakti, maka
keluarlah sifat angkara murkanya, tidak sekali-kali merasa takut kepada
siapapun, walau kepada para
dewa sekalipun. Sri Gajah Waktera mempunyai sejumlah
pendamping yang semuanya memiliki kesaktian, kebal serta juga bijaksana yakni :
Mahapatih Ki Pasung Gerigis, bertempat tinggal di Tengkulak, Patih Kebo Iwa
bertempat di Blahbatuh, keturunan Kyai Karang Buncing, Demung I Udug Basur,
Tumenggung Ki Kala Gemet, Menteri Girikmana - Ularan berdiam di Denbukit, Ki
Tunjung Tutur di Tianyar, Ki Tunjung Biru berdiam di Tenganan, Ki Buan di
Batur, Ki Tambiak berdiam di Jimbaran, Ki Kopang di Seraya, Ki Kalung Singkal
bertempat tinggal di Taro.
Prihal keangkara-murkaan Sri Gajah Waktera itu, diketahui
oleh raja Majapahit Singkat ceritera, setelah Ki Patuh Kebo Iwa dikalahkan
dengan tipu daya, maka diseranglah Bali oleh Kriyan Mahapatih Gajah Mada didampingi
para perwira perang seperti Arya Damar sebagai pimpinan diiringi oleh Arya
Kanuruhan, Arya Wang Bang yakni Kyai Anglurah Pinatih Mantra, Arya Kepakisan, Arya Kenceng, Arya Delancang,
Arya Belog, Arya Mangun, Arya Pangalasan serta Arya Kutawaringin.
Kemudian diceriterakan pada perang yang terjadi tahun 1343
Masehi itu, di Tengkulak Peliatan, Raja Tapolung beserta para patihnya yang
bemama Kebo Warunya dan I Gudug Basur gugur di medan perang. Namun Ki Pasung
Gengis patih utama Dalem Bedaulu dapat ditawan.
Tiada lama kemudian Ki Pasung Gerigis menyatakan dirinya menyerahkan
diri dan berbhakti kepada Raja Majapahit, karena itu diperintahkan untuk
mengalahkan Raja Sumbawa yang bernama Dedela Natha. Akhirnya keduanya wafat di
dalam perang tanding. Sesudah Raja Bedaulu mangkat, maka Pulau Bali sunyi tidak
memiliki penguasa, karena itu timbul huru hara.
Sebelum itu Ki Patih Gajah Mada sudah memohon putra Ida Mpu
Danghyang Soma Kepakisan - sebagai pendeta guru utama di Kediri, yang bernama
Ida Sri Kresna Kepakisan, untuk diasuh di Majapahit. Ida Mpu Soma Kepakisan itu
tiada lain saudara dari Ida Mpu Danghyang Panawasikan, Ida Mpu Danghyang
Siddhimantra dan Ida Mpu Asmaranatha. Kemudian Ida Kresna Kepakisan mempunyai
putra 4 orang, laki tiga, wanita seorang. Pada saat di Bali serta daerah lain
tidak memiliki penguasa, serta dalam upaya menyelenggarakan Kesejahteraan di
masing-masing wilayah, maka sesuai dengan perintah Raja Majapahit, Mahapatih
Gajah Mada meminta putra Ida Sri Kresna Kapakisan yang sudah dewasa untuk
dijadikan penguasa atau Dalem. Pada saat itu putra beliau yang sulung bernama
Ida Nyoman Kepakisan diangkat dijadikan penguasa di Blambangan, Ida Made
Kepakisan menjadi penguasa di Pasuruan, Ida Nyoman Istri Kepakisan/Dalem
Sukanya di Sumbawa serta yang bungsu Ida Ketut Kresna Kepakisan, dijadikan penguasa
di Bali. Oleh Mahapatih Gajah Mada, Ida Dalem Ketut Kresna
Kapakisan dianugerahi pusaka Kris Ki Ganja Dungkul, serta berkedudukan sebagai
Adipati.
Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan - dari Pulau Jawa, turun di
Lebih, kemudian ke arah timur laut berkedudukan di Samprangan. Di sanalah
beliau membangun Puri pada tahun Masehi 1350. Sesudah beliau Ida Dalem
bertempat tinggal di puri di Samprangan, mahapatih beliau I Gusti Nyuhaya
bertempat tinggal di Nyuhaya, sementara para menterinya seperti Arya Kutawangin
di Klungkung, Arya Kenceng di Tabanan, Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Dalancang
di Kapal, Arya Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Arya Kanuruhan
di Tangkas, Kriyan Punta di Mambal, Arya Jrudeh di Tamukti, Arya Temenggung di
Patemon, Arya Demung Wangbang Kediri yakni Kyai Anglurah Pinatih Mantra di
Kertalangu, Arya Sura Wang Bang Lasem di Sukahet, Arya Mataram tidak tetap
tempat tinggalnya, Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya Pamacekan di
Bondalem, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Selain dan para
Arya tersebut, ada yang
kemudian datang yakni Tiga Wesya bersaudara : Si Tan Kober,
diberikan tempat tinggal di Pacung, Si Tan Kawur diberi tempat tinggal di
Abiansemal serta Si Tan Mundur berdiam di Cacahan.
Diceriterakan Kyai Angelurah Pinatih Mantra, diberikan
tempat tinggal di Kerthalangu, Badung, menguasai kawasan Pinatih serta
diberikan memegang bala sejumnlah 35.000 orang, yakni mereka yang merupakan
rakyat dan Senapati Arya Buleteng. Ida Dalem Ketut Kresna Kepakisan sudah berusia
senja kemudian di
Samprangan beliau wafat berpulang ke Cintyatmaka pada saat
mangrwa wastu simna pramana ning wang atau tahun Isaka 1302, tahun Masehi 1380.
Beliau diganti oleh putranya Dalem Ketut Ngulesir yang bergelar Dalem Smara
Kepakisan.
Diceriterakan Kyai Anglurah Pinatih Mantra, memiliki putra
laki seorang, bernama Kyai Anglurah Agung Pinatih Kertha atau I Gusti Anglurah
Agung Pinatih Kejot, Pinatih Tinjik atau I Gusti Agung Pinatih Perot. Beliaulah
yang dikenal menyerang serta mengalahkan kawasan Bangli Singharsa sewaktu
pemerintahan
Ngakan Pog yang menjadi manca di sana, sesuai dengan
perintah Ida Dalem Ketut Ngulesir atau Ida Dalem Smara Kepakisan yang menjadi
penguasa tahun Masehi 1380 sampai dengan 1460. Kyayi Anglurah Pinatih Mantra
sudah tua, kemudian berpulang ke sorgaloka. Kyai Anglurah Pinatih Kertha Kejot
berputra laki dan isteri pingarep bernama Ki Gusti Anglurah Pinatih Resi, dan
isteri putri I Jurutkemong bernama Ki Gusti Anglurah Made Bija serta putra
laki-laki dari sor bernama I Gusti Gde Tembuku.
Diceriterakan kemudian, Kyai Anglurah Made Bija sudah
mempunyai putra, namun kakaknya I Gusti Anglurah Pinatih Rsi belum beristeri.
Para putra Gusti Anglurah Made Bija bernama I Gusti Putu Pahang, I Gusti
Mpulaga utawi Pulagaan, I Gusti Gde Tembuku, I Gusti Nyoman Jumpahi, I Gusti
Nyoman Bija Pinatih dan I Gusti
Ketut Blongkoran. I Gusti Bija Pulagaan, sesuai perintah Ida
Dalem Ketut Smara Kapakisan kemudian menjadi Manca di kawasan Singharsa Bangli
sejak tahun Masehi 1453.
No comments:
Post a Comment