om swastyastu

Saturday 17 December 2011

Bagian2 dari ringkasan Kitab Asta Dasa Parwa



VII. Dronaparwa

Kitab Dronaparwa merupakan kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Bagawan Drona sebagai panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin menangkapYudistira hidup-hidup untuk membuat Duryodana senang. Usaha tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh para ksatria Pandawa seperti Bima dan Satyaki. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama. Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar hal tersebut, Drona kehilangan semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian Drona, Aswatama, putera Bagawan Drona, hendak membalas dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan kisah gugurnya Abimanyu yang terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta gugurnya Gatotkaca dengan senjata sakti panah Konta.
Kitab Dronaparwa tidak didapati di Indonesia. Kitab ini kitab ketujuh Mahabharata. Di sini diceritakan kematian bagawan Drona dalam perang Bharatayuddha. Ia ditipu oleh antara lain Yudistira apakah putranya Aswatama sudah tewas atau belum.

VIII. Karnaparwa
Kitab Karnaparwa merupakan kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Karna sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil membunuh Dursasana dan merobek dadanya untuk meminum darahnya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa roda kereta perang Karna terperosok ke dalam lubang. Karna turun dari kereta dan mencoba untuk mengangkat roda keretanya. Dengan senjata panah pasupati, Arjuna berhasil membunuh Karna yang sedang lengah.
Karnaparwa, kitab ke-8 Mahabharata, menceritakan sang Salya yang menjadi kusir kereta sang Karna. Akhirnya sang Karna dibunuh oleh sang Arjuna dalam perang tanding.

IX.Salyaparwa
Kitab Salyaparwa merupakan kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya Salya sebagai panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. Salya hanya memimpin selama setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Dalam kitab ini diceritakan kisah Duryodana yang ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya dan berencana untuk menhentikan peperangan. Ia pun bersedia untuk menyerahkan kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Karena tidak tahan, Duryodana tampil ke medan laga dan melakukan perang tanding menggunakan gada melawan Bima. Dalam pertempuran tersebut, Kresna yang mengetahui kelemahan Duryodana menyuruh Bima agar memukul paha Duryodana. Setelah pahanya terpukul, Duryodana kalah. Namun sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih hidup diangkat menjadi panglima perang.
Salyaparwa adalah kitab kesembilan dari seluruh naskah wiracarita Mahabharata yang terdiri atas 18 parwa. Bagian ini bercerita tentang klimaks perang besar antara keluarga Pandawa melawan Korawa yang terjadi di Padang Kurukshetra. Perang ini dalam pewayangan terkenal dengan sebutan Baratayuda.
Ringkasan Cerita
Salyaparwa terdiri atas 65 bab. Kitab ini bercerita tentang pertempuran pada hari ke-18 di mana saat itu pihak Korawa telah kehilangan banyak pasukan. Kisah diawali dengan ratapan Duryodana atas kematian Karna, panglima andalannya pada hari sebelumnya. Ia kemudian mengangkat Salya sebagai panglima baru untuk melanjutkan peperangan.
Dalam pertempuran hari itu, Salya akhirnya gugur di tangan Yudistira, pemimpin para Pandawa. Namun kisah Salyaparwa tidak berakhir sampai di sini. Selanjutnya diceritakan bagaimana penasihat pihak Korawa yang licik, yaitu Sangkuni tewas di tangan Sahadewa, adik bungsu Yudistira.
Bagian akhir Salyaparwa mulai bab ke-32 diberi judul Gadayuddhaparwa, yang berkisah tentang perang tanding antara Duryodana melawan Bimasena. Perang ini merupakan klimaks dari seluruh rangkaian Baratayuda. Dalam pertarungan satu lawan satu tersebut, Duryodana akhirnya roboh terkena hantaman gada milik Bima.

X. Sauptikaparwa
Kitab Sauptikaparwa merupakan kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga ksatria dari pihak Korawa yang melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah AswatamaKrepa, dan Kritawarma. Aswatama yang didasari motif balas dendam membunuh seluruh pasukan Panchala termasuk Drestadyumna, yang membunuh Drona, ayah Aswatama. Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi serta kelima putera Pandawa atau Pancawala. Aswatama kemudian menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan Rsi Byasa. Para Pandawa dan Kresna menyusulnya. Kemudian di sana terjadi pertarungan sengit antara Aswatama dengan Arjuna. Rsi Byasa dan Kresna berhasil menyelesaikan pertengkaran tersebut. Kemudian Aswatama menyerahkan seluruh senjata dan kesaktiannya. Ia sendiri mengundurkan diri demi menjadi pertapa.
Sauptikaparwa adalah kitab ke-10 Mahabharata. Kitab yang tidak didapati dalam bahasa Jawa Kuna ini, menceritakan sang Aswatama yang menyelinap masuk ke istana Hastina dan membunuh para putra PandawaSrikandi dan lain-lainnya. Ia akhirnya dibunuh oleh sang Arjuna.
Dalam khazanah budaya Jawa baru, cerita ini dikenal sebagai lakon wayang “Aswatama Gugat”.

XI. Striparwa
Kitab Striparwa merupakan kitab kesebelas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah ratap tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan pula Dretarastra yang sedih karena kehilangan putera-puteranya di medan perang, semuanya telah dibunuh oleh PandawaYudistira kemudian mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal-usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.
Striparwa adalah buku ke-11 Mahabharata. Kitab ini tidak terdapat versi Jawa Kunanya. Kisah yang singkat ini menceritakan ratapan para istri-istri ksatriya yang telah tewas dalam peperangan Bharatayuddha. Mereka melaksanakan ritual sraddha.

XII.Santiparwa
Kitab Santiparwa merupakan kitab kedua belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah berkumpulnya DretarastraGandari,Pandawa, dan Kresna di Kurukshetra. Mereka sangat menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah hari tangisan.Yudistira menghadapi masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan saudara sendiri. Kemudian Bhisma yang masih terbujur di atas panah memberikan wejangan kepada Yudistira. Ia membeberkan ajaran-ajaran Agama Hindu secara panjang lebar kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan nasihat tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh Yudistira.Santiparwa adalah kitab ke-12 Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Dalam kitab ini diceritakan tentang nasihat-nasihat bagawan Bisma ketika berada di atas saratalpa atau "ranjang panah" ketika sudah dikalahkan pada perang Bharatayuddha. Ia terutama memberikan nasihat-nasihat penting kepada Raja Yudistira.


XIII. Anusasanaparwa
Kitab Anusasanaparwa merupakan kitab ketiga belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Yudistira yang menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan ajaran Agama Hindu dengan panjang lebar kepadanya, termasuk ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur, pelajaran tentang menunaikan kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya. Akhirnya, Bhisma yang sakti mangkat ke surga dengan tenang.
Anusasanaparwa adalah kitab ke-13 Mahabharata dan merupakan terusan Santiparwa, tentang percakapan antara Yudistira dan Bisma. Kitab ini tidak terdapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Dalam kitab ini diceritakan pula meninggalnya Bisma dan berpulangnya beliau ke surga.


XIV. Aswamedhikaparwa
Kitab Aswamedhikaparwa merupakan kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah kelahiran Parikesit yang sebelumnya tewas dalam kandungan karena senjata sakti milik Aswatama. Dengan pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat dihidupkan kembali. Kemudian Yudistira melakukan upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan di belakangnya terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin oleh Arjuna. Mereka mengikuti kuda tersebut kemanapun pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda tersebut harus mau tunduk di bawah kuasa Yudistira jika tidak mau berperang. Sebagian mau tunduk sedangkan yang membangkang harus maju bertarung dengan Arjuna karena menentang Yudistira. Pada akhirnya, para Raja di daratan India mau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.
Aswamedikaparwa adalah kitab ke 14 Mahabharata. Kitab ini tidak didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Kitab ini terutama menceritakan penobatan Parikesit, putra Abimanyu, cucu Arjuna untuk menjadi Raja Hastina sampai ke akhir hayatnya, tewas digigit si naga Taksaka.

XV. Asramawasikaparwa
Kitab Asramawasikaparwa merupakan kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah DretarastaGandariKunti,Widura dan Sanjaya yang menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan mereka pergi bertapa ke tengah hutan.Pandawa sempat mengunjungi pertapaan merekja di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke hadapan para Pandawa, dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.
Asramawasikaparwa atau dalam versi Jawa Kuna disebut Asramawasanaparwa adalah buku ke 15 Mahabharata. Adapun kisah ceritanya adalah sebagai berikut: Sehabis perang Bharatayuddha, sang Drestarastra diangkat menjadi raja selama limabelas tahun di Astina. Ini bermaksud untuk menolongnya sebab putra-putra dan keluarganya sudah meninggal semua. Para Pandawa taat dan berbakti kepadanya dan menyanjung-nyanjungkannya supaya ia tidak teringat akan putra-putranya. Tetapi sang Wrekodara selalu merasa jengkel dan mangkel terhadapnya karena teringat akan perbuatan sang Duryodana yang selalu berbuat jahat.
Maka kalau tidak ada orang sang Drestarastra dicaci maki olehnya dan ditunjukkan atas kesalah-salahannya. Akhirnya sang Drestarastra tidak tahan lagi karena merasa segan dan meminta diri kepada raja Yudistira akan pergi dan tinggal di dalam hutan. Lalu ia berangkat diantarkan oleh orang tua-tua: Arya Widura, dewi Gandari dan dewi Kunti. Selama dalam pertapaan para Pandawa pernah mengunjunginya namun tak lama kemudian sang Drestarastara meninggal karena api suci yang diciptakan tubuhnya ketika bertapa, disusul oleh para pengiringnya.

XVI. Mosalaparwa
Kitab Mosalaparwa merupakan kitab keenam belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah binasanya bangsa Wresni karena kutukan seorang Brahmana. Bangsa Wresni menghancurkan sesamanya dengan menggunakan senjata gada (mosala) setelah lupa diri karena meminum arak yang menyebabkan mereka mabuk. Sehabis pertempuran bangsa Wresni, Baladewa bermeditasi di tengah hutan kemudian mengeluarkan ular suci dari mulutnya, setelah itu ia menghilang mencapai keabadian. Setelah Kresna ditinggal Baladewa dan bangsa Wresni musnah semua, ia pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Di dalam hutan, seorang pemburu melihat kaki Kresna bagaikan seekor rusa kemudian menembakkan anak panah. Hal tersebut membuat Kresna mencapai keabadian dan meninggalkan dunia fana. Arjuna sempat mengunjungi Dwarawati, dan ia mendapati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia mengadukan hal tersebut kepada Rsi Byasa, dan Rsi Byasa menasihati para Pandawa agar meninggalkan hal-hal duniawi untuk menempuh hidup sebagai “Sanyasin” (pertapa).
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata. Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para WresniAndhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda WresniYadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjatamosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang Jara seorang pemburu. Pemburu yang bernama Jara membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan WresniAndhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan WresniAndhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa WresniYadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia dalam tapanya. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala di dalam ikan yang telah dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma'af kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata, "Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku". Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa WresniAndhaka, dan Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut,Arjuna mohon pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di DwarakaArjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

XVII. Prasthanikaparwa
Kitab Prasthanikaparwa merupakan kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi untuk menjadi seorang pertapa. Mereka menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa beserta Dropadi berencana untuk berziarah ke gunung Himalaya sebagai akhir hidup mereka. Dalam perjalanan, Dropadi dan satu persatu dari Pandawa bersaudara (SahadewaNakulaArjunaBima) meninggal dalam perjalanan. Hanya Yudistira yang masih hidup dan melanjutkan perjalanannya. Yudistira membiarkan jenazah saudara-saudaranya terkubur di tengah perjalanan tanpa memberikan upacara pembakaran yang layak. Di tengah jalan, Yudistira bertemu dengan seekor anjing, dan anjing tersebut kemudian menjadi teman perjalanannya. Bersama-sama, mereka berdua berhasil mencapai puncak. Sesampainya di puncak, kereta kencana Dewa Indra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira ke surga.
Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas. Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa
Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura
Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi
Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang berkata akan mengangkatnya ke surga tanpa harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga diperbolehkan ikut. Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin mengetesnya.
Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata mereka berada di neraka. Lalu beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan sorga adalah sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di buku ke 18 Swargarohanaparwa

                XVIII. Swargarohanaparwa
Kitab Swargarohanaparwa merupakan kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan akhir kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali dengan penolakan Yudistira yang tidak mau berangkat ke surga jika harus meninggalkan anjing yang setia menemani dalam perjalanannya. Atas ketulusan hati Yudistira, si anjing pun menampakkan wujud aslinya sebagai Dewa Dharma, ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan bahwa Yudistira telah berhasil melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang. Setelah mengetahui yang sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke surga. Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan saudara-saudaranya yang saleh, melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta sekutunya yang jahat ada di sana. Sang Dewa mengatakan bahwa mereka bisa berada di surga karena gugur di tanah suci Kurukshetra. Yudistira kemudian berangkat ke neraka. Di sana ia mendengar suara saudara-saudaranya yang menyayat agar mau menemani penderitaan mereka. Yudistira yang memilih untuk tinggal di neraka bersama saudara yang saleh daripada tinggal di surga bersama saudara yang jahat membuat para Dewa tersentuh. Tabir ilusi pun dibuka. Dewa Indra menjelaskan bahwa sebenarnya saudara-saudara Yudistira telah berada di surga bersama dengan saudaranya yang jahat. Yudistira pun menyadarinya kemudian hidup berbahagia di surga setelah membuang jasadnya.Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan dewi Dropadi.
Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit, tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

1 comment:

  1. isinya bagus
    mohon ijin dicopy boleh ga pak gusti? untuk kepentingan melengkapi kekurangan materi pada buku agama Hindu kelas IX, matur suksma

    ReplyDelete