VII. Dronaparwa
Kitab Dronaparwa merupakan
kitab ketujuh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah diangkatnya
Bagawan Drona sebagai
panglima perang pasukan Korawa setelah Rsi Bhisma gugur di tangan Arjuna. Dalam kitab ini diceritakan bahwa Drona ingin
menangkapYudistira hidup-hidup
untuk membuat Duryodana senang. Usaha
tersebut tidak berhasil karena Arjuna selalu melindungi Yudistira. Pasukan yang
dikirim oleh Duryodana untuk membinasakan Arjuna selalu berhasil ditumpas oleh
para ksatria Pandawa seperti Bima dan Satyaki. Dalam kitab
Dronaparwa juga diceritakan tentang siasat Sri Kresna yang menyuruh agar Bima membunuh gajah bernama Aswatama.
Setelah gajah tersebut dibunuh, Bima berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama
mati. Drona menanyakan kebenaran ucapan tersebut kepada Yudistira, dan
Yudistira berkata bahwa Aswatama mati. Mendengar hal tersebut, Drona kehilangan
semangat berperang sehingga meletakkan senjatanya. Melihat hal itu, ia
dipenggal oleh Drestadyumna. Setelah kematian
Drona, Aswatama, putera Bagawan
Drona, hendak membalas dendam. Dalam kitab Dronaparwa juga diceritakan kisah
gugurnya Abimanyu yang
terperangkap dalam formasi Cakrawyuha serta
gugurnya Gatotkaca dengan
senjata sakti panah Konta.
Kitab Dronaparwa tidak didapati
di Indonesia. Kitab ini kitab ketujuh Mahabharata. Di sini diceritakan kematian bagawan Drona dalam perang Bharatayuddha. Ia ditipu oleh antara lain Yudistira apakah putranya Aswatama sudah tewas atau belum.
VIII. Karnaparwa
Kitab Karnaparwa merupakan
kitab kedelapan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
diangkatnya Karna sebagai
panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Bagawan Drona yang telah gugur. Setelah Abimanyu dan Gatotkaca gugur, Arjuna dan Bima mengamuk. Mereka banyak membantai pasukan Korawa. dalam kitab ini diceritakan bahwa Bima berhasil
membunuh Dursasana dan merobek
dadanya untuk meminum darahnya. Salya, Raja Madra, menjadi kusir
kereta Karna. Kemudian terjadi pertengkaran antara Salya dengan Karna. Dalam
kitab ini diceritakan bahwa roda kereta perang Karna terperosok
ke dalam lubang. Karna turun dari kereta dan mencoba untuk mengangkat roda
keretanya. Dengan senjata panah pasupati, Arjuna berhasil membunuh Karna yang sedang lengah.
Karnaparwa, kitab ke-8 Mahabharata, menceritakan sang Salya yang menjadi kusir kereta sang Karna. Akhirnya sang Karna dibunuh oleh sang Arjuna dalam perang tanding.
IX.Salyaparwa
Kitab Salyaparwa merupakan
kitab kesembilan dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
diangkatnya Salya sebagai
panglima perang pasukan Korawa, menggantikan Karna yang telah gugur. Salya hanya memimpin selama
setengah hari, karena pada hari itu juga Salya gugur di tangan Yudistira. Dalam kitab ini
diceritakan kisah Duryodana yang
ditinggal mati saudara dan sekutunya dan kini hanya ia sendirian sebagai Korawa yang menyerang Pandawa. Semenjak seluruh
saudaranya gugur demi memihak dirinya, Duryodana menyesali segala perbuatannya
dan berencana untuk menhentikan peperangan. Ia pun bersedia untuk menyerahkan
kerajaannya kepada para Pandawa agar mampu meninggalkan dunia fana dengan
tenang. Sikap Duryodana tersebut menjadi ejekan bagi para Pandawa. Karena tidak
tahan, Duryodana tampil ke medan laga dan melakukan perang tanding
menggunakan gada melawan Bima. Dalam pertempuran tersebut, Kresna yang mengetahui kelemahan Duryodana menyuruh Bima agar
memukul paha Duryodana. Setelah pahanya terpukul, Duryodana kalah. Namun
sebelum ia meninggal, Aswatama yang masih
hidup diangkat menjadi panglima perang.
Salyaparwa adalah kitab
kesembilan dari seluruh naskah wiracarita Mahabharata yang
terdiri atas 18 parwa. Bagian ini bercerita tentang klimaks perang besar antara
keluarga Pandawa melawan Korawa yang terjadi di Padang Kurukshetra.
Perang ini dalam pewayangan terkenal
dengan sebutan Baratayuda.
Ringkasan Cerita
Salyaparwa terdiri atas 65
bab. Kitab ini bercerita tentang pertempuran pada hari ke-18 di mana saat itu
pihak Korawa telah
kehilangan banyak pasukan. Kisah diawali dengan ratapan Duryodana atas
kematian Karna,
panglima andalannya pada hari sebelumnya. Ia kemudian mengangkat Salya sebagai panglima baru untuk
melanjutkan peperangan.
Dalam pertempuran hari itu, Salya akhirnya gugur di
tangan Yudistira,
pemimpin para Pandawa. Namun kisah Salyaparwa tidak berakhir
sampai di sini. Selanjutnya diceritakan bagaimana penasihat pihak Korawa yang
licik, yaitu Sangkuni tewas
di tangan Sahadewa, adik
bungsu Yudistira.
Bagian akhir Salyaparwa mulai bab
ke-32 diberi judul Gadayuddhaparwa, yang berkisah tentang perang
tanding antara Duryodana melawan Bimasena.
Perang ini merupakan klimaks dari seluruh rangkaian Baratayuda. Dalam
pertarungan satu lawan satu tersebut, Duryodana akhirnya roboh terkena hantaman
gada milik Bima.
X. Sauptikaparwa
Kitab Sauptikaparwa merupakan
kitab kesepuluh dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah tiga
ksatria dari pihak Korawa yang
melakukan serangan membabi buta pada di malam hari, saat tentara Pandawa sedang
tertidur pulas. Ketiga ksatria tersebut adalah Aswatama, Krepa, dan Kritawarma. Aswatama yang
didasari motif balas dendam membunuh seluruh pasukan Panchala termasuk Drestadyumna, yang
membunuh Drona, ayah Aswatama.
Selain itu Aswatama juga membunuh Srikandi serta kelima
putera Pandawa atau Pancawala. Aswatama kemudian
menyesali perbuatannya lalu pergi ke tengah hutan, berlindung di pertapaan
Rsi Byasa. Para Pandawa dan Kresna menyusulnya. Kemudian di sana terjadi
pertarungan sengit antara Aswatama dengan Arjuna. Rsi Byasa dan Kresna berhasil
menyelesaikan pertengkaran tersebut. Kemudian Aswatama menyerahkan seluruh
senjata dan kesaktiannya. Ia sendiri mengundurkan diri demi menjadi pertapa.
Sauptikaparwa adalah kitab
ke-10 Mahabharata. Kitab yang tidak
didapati dalam bahasa Jawa Kuna ini,
menceritakan sang Aswatama yang menyelinap masuk ke
istana Hastina dan membunuh para
putra Pandawa, Srikandi dan
lain-lainnya. Ia akhirnya dibunuh oleh sang Arjuna.
Dalam khazanah budaya Jawa baru, cerita ini dikenal
sebagai lakon wayang “Aswatama Gugat”.
XI. Striparwa
Kitab Striparwa merupakan
kitab kesebelas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah ratap
tangis para janda yang ditinggal suaminya di medan perang. Dikisahkan
pula Dretarastra yang sedih
karena kehilangan putera-puteranya di medan perang, semuanya telah dibunuh
oleh Pandawa. Yudistira kemudian
mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka yang gugur dan
mempersembahkan air suci kepada arwah leluhur. Dalam kitab ini, Kunti menceritakan asal-usul Karna yang selama ini menjadi rahasia pribadinya.
Striparwa adalah
buku ke-11 Mahabharata. Kitab ini tidak terdapat versi Jawa Kunanya. Kisah yang singkat ini menceritakan ratapan
para istri-istri ksatriya yang telah tewas dalam peperangan Bharatayuddha. Mereka melaksanakan ritual sraddha.
XII.Santiparwa
Kitab Santiparwa merupakan
kitab kedua belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
berkumpulnya Dretarastra, Gandari,Pandawa, dan Kresna di Kurukshetra. Mereka sangat
menyesali segala perbuatan yang telah terjadi dan hari itu adalah hari
tangisan.Yudistira menghadapi
masalah batin karena ia merasa berdosa telah membunuh guru dan saudara sendiri.
Kemudian Bhisma yang masih
terbujur di atas panah memberikan wejangan kepada Yudistira. Ia membeberkan
ajaran-ajaran Agama Hindu secara
panjang lebar kepadanya. Rsi Byasa dan Kresna turut membujuknya. Mereka semua memberikan
nasihat tentang ajaran kepemimpinan dan kewajiban yang mesti ditunaikan oleh
Yudistira.Santiparwa adalah kitab ke-12 Mahabharata. Kitab
ini tidak didapatkan dalam bahasa
Jawa kuna.
Dalam kitab ini diceritakan tentang nasihat-nasihat
bagawan Bisma ketika
berada di atas saratalpa atau "ranjang panah" ketika
sudah dikalahkan pada perang Bharatayuddha. Ia
terutama memberikan nasihat-nasihat penting kepada Raja Yudistira.
XIII. Anusasanaparwa
Kitab Anusasanaparwa merupakan
kitab ketiga belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Yudistira yang
menyerahkan diri bulat-bulat kepada Bhisma untuk menerima ajarannya. Bhisma menjelaskan
ajaran Agama Hindu dengan
panjang lebar kepadanya, termasuk ajaran kepemimpinan, pemeintahan yang luhur,
pelajaran tentang menunaikan kewajiban, tentang mencari kebahagiaan, dan sebagainya.
Akhirnya, Bhisma yang sakti mangkat ke surga dengan tenang.
Anusasanaparwa adalah kitab
ke-13 Mahabharata dan merupakan
terusan Santiparwa, tentang percakapan
antara Yudistira dan Bisma. Kitab
ini tidak terdapatkan dalam bahasa
Jawa kuna.
Dalam kitab ini diceritakan pula meninggalnya Bisma dan
berpulangnya beliau ke surga.
XIV. Aswamedhikaparwa
Kitab Aswamedhikaparwa merupakan
kitab keempat belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
kelahiran Parikesit yang
sebelumnya tewas dalam kandungan karena senjata sakti milik Aswatama. Dengan
pertolongan dari Kresna, Parikesit dapat
dihidupkan kembali. Kemudian Yudistira melakukan
upacara Aswamedha. Untuk menyelenggarakan upacara
tersebut, ia melepas seekor kuda. Kuda tersebut mengembara selama setahun dan
di belakangnya terdapat pasukan Pandawa yang dipimpin
oleh Arjuna. Mereka mengikuti
kuda tersebut kemanapun pergi. Kerajaan-kerajaan yang dilalui oleh kuda
tersebut harus mau tunduk di bawah kuasa Yudistira jika tidak mau berperang.
Sebagian mau tunduk sedangkan yang membangkang harus maju bertarung dengan
Arjuna karena menentang Yudistira. Pada akhirnya, para Raja di daratan India mau mengakui Yudistira sebagai Maharaja Dunia.
Aswamedikaparwa adalah kitab ke
14 Mahabharata. Kitab ini tidak
didapatkan dalam bahasa Jawa kuna.
Kitab ini terutama menceritakan penobatan Parikesit,
putra Abimanyu, cucu Arjuna untuk
menjadi Raja Hastina sampai
ke akhir hayatnya, tewas digigit si naga Taksaka.
XV. Asramawasikaparwa
Kitab Asramawasikaparwa merupakan
kitab kelima belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Dretarasta, Gandari, Kunti,Widura dan Sanjaya yang
menyerahkan kerajaan sepenuhnya kepada Raja Yudistira sedangkan
mereka pergi bertapa ke tengah hutan.Pandawa sempat
mengunjungi pertapaan merekja di tengah hutan. Akhirnya, Batara Narada datang ke hadapan para Pandawa,
dan mengatakan bahwa hutan tempat Dretarastra, Gandari, Kunti bertapa terbakar
oleh api suci mereka sendiri, sehingga mereka wafat dan langsung menuju surga.
Asramawasikaparwa atau dalam versi
Jawa Kuna disebut Asramawasanaparwa adalah buku ke 15 Mahabharata.
Adapun kisah ceritanya adalah sebagai berikut: Sehabis perang Bharatayuddha,
sang Drestarastra diangkat
menjadi raja selama limabelas
tahun di Astina. Ini bermaksud untuk
menolongnya sebab putra-putra dan keluarganya sudah meninggal semua. Para Pandawa taat
dan berbakti kepadanya dan menyanjung-nyanjungkannya supaya ia tidak teringat
akan putra-putranya. Tetapi sang Wrekodara selalu
merasa jengkel dan mangkel terhadapnya karena teringat akan perbuatan
sang Duryodana yang selalu berbuat
jahat.
Maka kalau tidak ada orang sang Drestarastra dicaci
maki olehnya dan ditunjukkan atas kesalah-salahannya. Akhirnya sang
Drestarastra tidak tahan lagi karena merasa segan dan meminta diri kepada raja
Yudistira akan pergi dan tinggal di dalam hutan. Lalu ia berangkat diantarkan
oleh orang tua-tua: Arya Widura, dewi Gandari dan dewi Kunti. Selama dalam pertapaan
para Pandawa pernah mengunjunginya namun tak lama kemudian sang Drestarastara
meninggal karena api suci yang diciptakan tubuhnya ketika bertapa, disusul oleh
para pengiringnya.
XVI. Mosalaparwa
Kitab Mosalaparwa merupakan
kitab keenam belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah
binasanya bangsa Wresni karena
kutukan seorang Brahmana. Bangsa Wresni
menghancurkan sesamanya dengan menggunakan senjata gada (mosala) setelah lupa diri karena meminum arak
yang menyebabkan mereka mabuk. Sehabis pertempuran bangsa Wresni, Baladewa bermeditasi
di tengah hutan kemudian mengeluarkan ular suci dari mulutnya, setelah itu ia
menghilang mencapai keabadian. Setelah Kresna ditinggal Baladewa dan bangsa Wresni musnah
semua, ia pergi ke tengah hutan untuk bertapa. Di dalam hutan, seorang pemburu
melihat kaki Kresna bagaikan seekor rusa kemudian menembakkan anak panah. Hal
tersebut membuat Kresna mencapai keabadian dan meninggalkan dunia fana. Arjuna sempat mengunjungi Dwarawati, dan ia mendapati bahwa
kota tersebut telah sepi. Ia mengadukan hal tersebut kepada Rsi Byasa, dan Rsi Byasa menasihati para Pandawa agar
meninggalkan hal-hal duniawi untuk menempuh hidup sebagai “Sanyasin” (pertapa).
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah
buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata.
Adapun ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa,
sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati)
tempat Sang Kresna memerintah. Kisah
ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan
saudaranya, Raja Baladewa.
Ringkasan isi Kitab
Mosalaparwa
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik
tahta, dunia telah memasuki zaman Kali
Yuga atau zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda
alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan
akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia
merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak
pemuda Wresni, Yadawa,
dan Andhaka yang
telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana
Pada suatu hari, Narada beserta
beberapa resi berkunjung
ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan
para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati)
dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang
mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini
adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah
para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian
mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?".
Para resi yang
tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang
Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan
melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjatamosala yang
akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba
melahirkan gada besi
dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena,
senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari
senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil.
Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut.
Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang
orang minum arak. Legenda mengatakan
bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut
tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam
bagaikan pedang. Potongan kecil yang
sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap
oleh nelayan lalu dijual kepada seorang Jara seorang pemburu. Pemburu yang
bernama Jara membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut
ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba
dihancurkan, datanglah Batara
Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas
saran Kresna, para
Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan
mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka
dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak
sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata,
"Kertawarma, kesatria macam apa kau
ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau
telah membunuh para putera Dropadi,
termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam
keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut
disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung
pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam,
membunuh Burisrawa yang tak
bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar
ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di
hadapan Kresna.
Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi
garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria
perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna.
Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun
sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang
tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut
berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para
keturunan Wresni, Andhaka,
dan Yadu saling
membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling
bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna menyadari
bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan
kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya
menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan
kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para
Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan
mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas
semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya
para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan
Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang
mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan
jalannya takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa,
dan Andhaka dengan
mata kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang
sedang bertapa di dalam hutan. Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang
masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberitahu berita kehancuran
rakyat Kresna ke
hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal
dunia dalam tapanya. Kemudian keluar naga dari
mulutnya dan naga ini masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang
menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring di bawah pohon, seorang pemburu
bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan anak panah dari sepotong
besi yang berasal dari senjata mosala di dalam ikan yang telah
dihancurkan. Ketika sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara
meminta ma'af kepada Kresna. Kresna tersenyum dan berkata, "Apapun yang
akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan hidupku". Sebelum
Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke Hastinapura, untuk
memberi tahu para keturunan Kuru bahwa
Wangsa Wresni, Andhaka,
dan Yadawa telah
hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka
mulai ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia
segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa
keturunan Yadu di Kerajaan
Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di
antaranya masih bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar
sedih tersebut,Arjuna mohon pamit demi
menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa.
Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati
bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan janda-janda yang
ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna melindungi
mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang
sedang lunglai. Setelah menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa
mangkat. Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para
wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab
menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota
Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra,
rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok. Anehnya, kekuatan Arjuna
seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia sadar bahwa
takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil
diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra,
para Yadawa dipimpin
oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya,
Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa. Atas
nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan
untuk melakukan perjelanan suci untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
XVII. Prasthanikaparwa
Kitab Prasthanikaparwa merupakan
kitab ketujuh belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan kisah Pandawa dan Dropadi yang
mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjauhkan diri dari kehidupan duniawi
untuk menjadi seorang pertapa. Mereka menyerahkan tahta kepada Parikesit, satu-satunya
keturunan mereka yang selamat dari perang Bharatayuddha. Para Pandawa
beserta Dropadi berencana untuk berziarah ke gunung Himalaya sebagai akhir
hidup mereka. Dalam perjalanan, Dropadi dan satu persatu dari Pandawa
bersaudara (Sahadewa, Nakula, Arjuna, Bima) meninggal dalam
perjalanan. Hanya Yudistira yang masih
hidup dan melanjutkan perjalanannya. Yudistira membiarkan jenazah
saudara-saudaranya terkubur di tengah perjalanan tanpa memberikan upacara
pembakaran yang layak. Di tengah jalan, Yudistira bertemu dengan seekor anjing, dan anjing tersebut kemudian menjadi teman
perjalanannya. Bersama-sama, mereka berdua berhasil mencapai puncak.
Sesampainya di puncak, kereta kencana Dewa Indra pun turun ke bumi untuk menjemput Yudistira
ke surga.
Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah
buku Mahabharata yang ketujuh belas.
Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima
dan Dewi Dropadi mengundurkan diri
dari Hastinapura dan pergi bertapa ke
hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat. Akhirnya satu persatu para
Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
Ringkasan isi Kitab
Prasthanikaparwa
Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura
Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi
Akhirnya prabu Yudistira ditemani
seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang berkata akan mengangkatnya
ke surga tanpa
harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga diperbolehkan ikut. Hal
ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya
dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang
ingin mengetesnya.
Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat
saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata mereka berada di neraka. Lalu
beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan sorga adalah
sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di
buku ke 18 Swargarohanaparwa
XVIII. Swargarohanaparwa
Kitab Swargarohanaparwa merupakan
kitab kedelapan belas dari seri Astadasaparwa. Kitab ini menceritakan akhir
kisah perjalanan suci yang dilakukan oleh Pandawa. Kisahnya diawali
dengan penolakan Yudistira yang tidak
mau berangkat ke surga jika harus
meninggalkan anjing yang setia menemani dalam perjalanannya. Atas ketulusan
hati Yudistira, si anjing pun menampakkan wujud aslinya sebagai Dewa Dharma, ayah Yudistira. Dewa Dharma mengatakan bahwa
Yudistira telah berhasil melewati ujian yang diberikan kepadanya dengan tenang.
Setelah mengetahui yang sebenarnya, Yudistira bersedia berangkat ke surga.
Sesampainya di surga, Yudistira terkejut karena tidak menemukan
saudara-saudaranya yang saleh, melainkan mendapati bahwa Duryodana beserta
sekutunya yang jahat ada di sana. Sang Dewa mengatakan bahwa mereka bisa berada
di surga karena gugur di tanah suci Kurukshetra. Yudistira kemudian
berangkat ke neraka. Di sana ia mendengar suara saudara-saudaranya yang
menyayat agar mau menemani penderitaan mereka. Yudistira yang memilih untuk
tinggal di neraka bersama saudara yang saleh daripada tinggal di surga bersama
saudara yang jahat membuat para Dewa tersentuh. Tabir ilusi pun dibuka.
Dewa Indra menjelaskan
bahwa sebenarnya saudara-saudara Yudistira telah berada di surga bersama dengan
saudaranya yang jahat. Yudistira pun menyadarinya kemudian hidup berbahagia di
surga setelah membuang jasadnya.Buku Swargarohanaparwa adalah
buku terakhir Mahabharata. Di
dalam buku ini dikisahkan bagaimana sang Yudistira yang
diangkat naik ke surga lebih baik memilih
pergi ke neraka daripada tinggal di
sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak
menemui saudara-saudaranya, para Pandawa dan
dewi Dropadi.
Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan
sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya sengsara dan iapun merasa sedih.
Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka tempat mereka berada
berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah berdosa sedikit
sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit,
tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.
isinya bagus
ReplyDeletemohon ijin dicopy boleh ga pak gusti? untuk kepentingan melengkapi kekurangan materi pada buku agama Hindu kelas IX, matur suksma