om swastyastu

Sunday 4 December 2011

Tradisi minum tuak




Tradisi minum tuak
Di Banjar Bayad, Desa Kedisan, KecamatanTegallalang, Kabupaten Gianyar , Bali, minum tuak telah menjadi bagian dari keseharian warga setempat.
Tuak adalah sejenis minuman lokal, yang mengandung alkohol, terbuat dari buah enau. Pembuatan tuak menjadi mata pencaharian sebagian warga Banjar Bayad. Bahkan ada ritual dalam pembuatannya.
Berdasarkan kepercayaan turun-temurun, sebelum dipotong, cabang enau dipukul-pukul oleh semacam pemukul terbuat dari kayu, dan kayunya pun bukan sembarang kayu. Proses ini dilakukan selama setengah jam terus menerus, setiap 3 hari bertepatan dengan wewaran beteng, selama 20 sampai 30 hari,  Ritual semacam ini dilakukan pada pohon enau, yang baru pertama kali akan disadap airnya. Konon, kalau tidak dipukul-pukul dengan kayu, air enau tidak mau keluar.
Pohon enau yang menghasilkan air, lazimnya telah berumur dua tahun. Cabang yang produktif, dapat menghasilkan air selama enam bulan terus menerus. Ketika mencapai umur tiga tahun, biasanya pohon enau tidak lagi produktif.
setelah dipotong dibiarkan airnya terbuang 3 hari, lalu dibawahnya digantungkan klukuh, bungbung, tapi sekarang klukuh dan bungbung sudah jarang digunakan, karena untuk lebih mudah mencari sekarang dipakai adalah ember dan didalam ember diisi sabut kelapa yang sudah di pukul-pukul. sabut kelapa gunanya untuk pembuat rasa. Selanjutnya, tuak pun siap diminum. Minuman asli dari alam ini, hanya bertahan selama satu hari. Makin lama tuak, makin asam minuman tersebut, sebelum akhirnya menjadi cuka.
Biasanya dalam satu hari, satu pohon enau dapat menghasilkan 15 sampai 30 botol tuak, Pembeli biasa datang pada sore hari sekitar pukul 17.00 wita, ditunggu dibawah pohon enau, sembari menunggu tuak diturunkan oleh empunya, dengan harga 1.500 hingga 2.000 rupiah per botol.
Bagi yang tidak biasa, minum tuak sebetulnya dapat memabukkan. Kadar alkohol tuak cukup tinggi, bisa mencapai lebih dari 60 persen.
Namun demikian, tuak tampaknya telah mendarah daging dalam keseharian masyarakat bukan saja banjar Bayad, mungkin hampir semua Desa di Bali, sepulang bekerja di sawah, para pria memiliki kebiasaan melepas lelah, dengan duduk bersantai. Sambil mengobrol, bercengkrama ataupun bernyanyi, mereka meminum tuak.
Minuman tradisonal ini juga senantiasa hadir dalam setiap hajatan. Selesai melaksanakan sebuah upacara tradisional, apakah itu perkawinan, dll,  Dari tuak ini pula, warga setempat bisa menghidupi keluarga mereka.

No comments:

Post a Comment