Tradisi
minum tuak
Di
Banjar Bayad, Desa Kedisan, KecamatanTegallalang, Kabupaten Gianyar , Bali,
minum tuak telah menjadi bagian dari keseharian warga setempat.
Tuak
adalah sejenis minuman lokal, yang mengandung alkohol, terbuat dari buah enau.
Pembuatan tuak menjadi mata pencaharian sebagian warga Banjar Bayad. Bahkan ada
ritual dalam pembuatannya.
Berdasarkan
kepercayaan turun-temurun, sebelum dipotong, cabang enau dipukul-pukul oleh semacam
pemukul terbuat dari kayu, dan kayunya pun bukan sembarang kayu. Proses ini
dilakukan selama setengah jam terus menerus, setiap 3 hari bertepatan dengan wewaran beteng, selama 20 sampai 30 hari, Ritual semacam ini dilakukan pada pohon enau, yang baru pertama
kali akan disadap airnya. Konon, kalau tidak dipukul-pukul dengan kayu, air
enau tidak mau keluar.
Pohon
enau yang menghasilkan air, lazimnya telah berumur dua tahun. Cabang yang
produktif, dapat menghasilkan air selama enam bulan terus menerus. Ketika
mencapai umur tiga tahun, biasanya pohon enau tidak lagi produktif.
setelah
dipotong dibiarkan airnya terbuang 3 hari, lalu dibawahnya digantungkan klukuh,
bungbung, tapi sekarang klukuh dan bungbung sudah jarang digunakan, karena
untuk lebih mudah mencari sekarang dipakai adalah ember dan didalam ember diisi
sabut kelapa yang sudah di pukul-pukul. sabut kelapa gunanya untuk pembuat
rasa. Selanjutnya, tuak pun siap diminum. Minuman asli dari alam ini, hanya
bertahan selama satu hari. Makin lama tuak, makin asam minuman tersebut,
sebelum akhirnya menjadi cuka.
Biasanya
dalam satu hari, satu pohon enau dapat menghasilkan 15 sampai 30 botol tuak,
Pembeli biasa datang pada sore hari sekitar pukul 17.00 wita, ditunggu dibawah
pohon enau, sembari menunggu tuak diturunkan oleh empunya, dengan harga 1.500
hingga 2.000 rupiah per botol.
Bagi yang tidak biasa, minum tuak sebetulnya dapat
memabukkan. Kadar alkohol tuak cukup tinggi, bisa mencapai lebih dari 60
persen.
Namun demikian, tuak tampaknya telah mendarah daging dalam keseharian masyarakat bukan saja banjar Bayad, mungkin hampir semua Desa di Bali, sepulang bekerja di sawah, para pria memiliki kebiasaan melepas lelah, dengan duduk bersantai. Sambil mengobrol, bercengkrama ataupun bernyanyi, mereka meminum tuak.
Namun demikian, tuak tampaknya telah mendarah daging dalam keseharian masyarakat bukan saja banjar Bayad, mungkin hampir semua Desa di Bali, sepulang bekerja di sawah, para pria memiliki kebiasaan melepas lelah, dengan duduk bersantai. Sambil mengobrol, bercengkrama ataupun bernyanyi, mereka meminum tuak.
No comments:
Post a Comment