BAGIAN DARI RINGKASAN KITAB ASTA DASA PARWA
YANG PERTAMA ( I ) ADALAH :
YANG PERTAMA ( I ) ADALAH :
ADIPARWA

Adiparwa adalah buku
pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah Mahabharata. Pada dasarnya
bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah
mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa
muda Pandawa dan Korawa,). Kisahnya
dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat
sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang
mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa.
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta
di Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga
Kuruwangsa. Pada suatu hari,
beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang
diikutinya sampai kehilangan jejak. Di hutan beliau berpapasan dengan seorang
pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan kemana kijang buruannya
pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal tersebut membuat
Raja Parikesit marah. Ia mengambil bangkai ular, kemudian
mengalungkannya di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari
penjelasan Sang Kresa, kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar
beliau wafat karena digigit ular, tujuh hari setelah kutukan diucapkan. Setelah
Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia berlindung di sebuah menara yang dijaga
dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para patihnya. Di sekeliling menara
juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari
ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang
bernama Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang
dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang Raja mangkat setelah digigit Naga
Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu.
Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan
tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki
kesaktian, kepandaian, dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan
puteri dari kerajaan Kasi, bernama Bhamustiman. Raja
Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram, setiap
musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa
Taksila, Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang
benci terhadap Naga Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian
ayahnya adalah karena ulah Naga Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan
cerita Sang Uttangka. Sang Raja
dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas Naga
Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan
mengundang para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat
Sang Raja mengadakan upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian
ia mengutus Sang Astika untuk
menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi
ke lokasi upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar
Sang Raja membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan
terhadap Sang Astika, membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri
untuk kembali ke Nagaloka. Naga Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya
tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa untuk
menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang
bertempur di Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan
urusan lain, maka Bagawan Wesampayana disuruh
mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau Mahābhārata. Sesuai keinginan
Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan
sebuah kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah
Pandawa dan Korawa, kisah perang di Kurukshetra, dan kisah
silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan kisah leluhur
Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian kisah
buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan
salah satu keturunan Sang Kuru atau Kuruwangsa,
bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama
Sunandha dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di
antara ketiga putera tersebut,Santanu dinobatkan
menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi
Gangga, kemudian berputera 8 orang. Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke
sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya yang terakhir berhasil
selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya tersebut
bernama Dewabrata, namun di kemudian hari
bernama Bhisma. Raja Santanu
menikah sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati
melahirkan 2 putera, bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi
tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu pertempuran
melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya
digantikan oleh adiknya,Wicitrawirya.
Wicitrawirya
menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan
Kasi. Tak lama setelah pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh
keturunan, kedua janda Wicitrawirya melangsungkan upacara yang dipimpin oleh
Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra yang buta
sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas
anugerah Bagawan Byasa, seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut
melahirkan seorang putera, bernama Widura yang sedikit
pincang. Drestarastra
menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera yang
disebut Korawa. Pandu
menikahi Kunti dan Madri. Kunti
melahirkan Yudistira, Bhima, dan Arjuna. Madri
melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu
tersebut disebut Pandawa.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup
bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik
mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu mereka
diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat,
kakaknya yang bernama Drestarastra melanjutkan
pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan hendak
mencalonkan Yudistirasebagai Raja, namun hal tersebut
justru menimbulkan sikap iri hati dalam diri Duryodana, salah satu
Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para Korawa juga sering
membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia
bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti
Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan
sepupu-sepupunya atau yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama
dalam suatu kerajaan yang beribukota di Hastinapura. Akhirnya berbagai
niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa lima beserta
ibunya.
Drestarastra yang
mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra
mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru
sehingga ia tidak memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana
iri hati dengan Yudistira, ia mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu
mereka yang bernama Kunti dengan cara menyuruh mereka
berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang megah,
yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan
itu di tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala
sesuatunya yang sudah direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan
paman dari Pandawa lima. Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh
seorang petapa yang datang ke dirinya bahwa akan ada bencana yang menimpannya
oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada terhadap segala kemungkinan.
Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana dan melarikan
diri ke hutan rimba.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti
sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan
Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di
penjuru Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa
menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah sasaran
diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran
tersebut dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi.
Satu-persatu ksatria maju, namun tidak ada satu pun yang berhasil memanah
dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan
Anga turut serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi
menolak untuk menikahi Karna karena karna anak seorang kusir yang tentu
lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga kesal
terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili
oleh Arjuna turut serta.
Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia tampil
ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak
menjadi miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang
Brāhmana tidak pantas untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan
ksatria. Arjuna dan Bima pun berkelahi
dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan
Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami
datang membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa,
tidak melihat apa yang dibawa oleh anak-anaknya karena sibuk dan berkata,
"Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia menoleh, alangkah
terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta,
namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya
untuk berbagai istri
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk
membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga
berjanji tidak akan mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar
bersama dengan salah satu dari Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu
adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah
kerajaannya di Indraprastha, seorang pendeta masuk ke istana dan
melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakjshasa. Arjuna yang
merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya.
Namun senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistiura dan Dropadi sedang
menikmati malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil
senjata, tidak memedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di
kamar. Atas perbuatan tersebut, Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan
selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan
menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau
daratan Indiakuno. Selama masa
pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah: Subadra (adik
Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya
dengan Subadra anaknya
bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya
bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya
bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa
juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan Sonaka, yang berbentuk cerita
bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan melainkan
meloncat-loncat
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brahmana bernama
Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3
murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan
diuji kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan
berhati-hati Sang Arunika merawat biji padi yang
ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa airbah yang kemudian
merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak
tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali
usahanya gagal dan pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai
pengganti pematang yang jebol untuk menahan air. Karena kesetiannya tersebut,
Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu
tidak diperbolehkan untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat
mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi yang digembalanya. Hal tersebut
juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu menghisap getah daun “waduri”
untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan matanya buta. Ia tidak
tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang
Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari,
didapatinya Sang Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian
mendengarkan cerita Sang Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang
Utamanyu diberikan mantra sakti yang mampu
menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan
hidangan yang terbaik buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya,
meski yang buruk sekalipun. Segala perintah gurunya dikerjakan dengan baik.
Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam ilmu pengetahuan, mantra veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera
bagawan Marici, cucu Dewa Brahma. Ia diberi oleh
Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut bernama: Aditi,
Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi,
Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak
memiliki anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa.
Sang Kadru memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak.
Kemudian Bagawan Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan
Sang Winata diberikan dua butir telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat
telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah
para Naga. Yang terkemuka
adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang
Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak
sabar, maka telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang
baru setengah jadi, bagian tubuh ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke
bawah tidak ada. Sang anak marah karena ditetaskan sebelum waktunya. Anak
tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh Sang Kadru
berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya
dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak
memiliki kaki dan paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya
Kisah pemutaran Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan
rapat untuk mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana
(Wisnu) mengatakan bahwa
tirta tersebut berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan
mengaduk lautan tersebut. Para Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut
Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki mencabut
gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung tersebut
dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kua (kurma) besar menjadi
penyangga/dasar gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian
para Dewa memegang ekornya, sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya.
Dewa Indra berdiri di
puncaknya agar gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Laksmi, kuda Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada
di pihak para Dewa. kemudian, munculahDhanwantari membawa kendi
tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik mereka
sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka.
Para Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah
wujudnya menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para raksasha dan detya. Para
rakshasa-daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi
tirta tersebut. Wanita cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta
dan berubah kembali menjadi Dewa Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah
pertempuran antara para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat
dengan senjata chakra-nya. Senjata Chakra kemudian
turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak dari mereka
yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri
ke laut dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa
tirta amerta ke surga.
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan
Kasyapa, mendengar kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran
Gunung Mandara atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putiuh semua,
sedangkan Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih
sedangkan ekornya saja yang hitam. Karena berbeda
pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan menjadi
budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus
menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya.
Anak-anaknya mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda
tersebut putih belaka. Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka
dari itu ia mengutus anak-anaknya untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut
supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya menolak untuk melaksanakannya
karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru yang marah mengutuk
anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular yang
diselenggarakan Raja Jnamejaya. Mau tak mau,
akhirnya anak-anaknya melaksanakan perintah ibunya. Mereka pun
memercikkan bisa ular ke ekor kuda
Uccaihsrawa sehingga warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang
Kadru memenangkan taruhan sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung
gagah perkasa yang kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda
mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia mendapati ibunya diperbudak Sang
Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda
membantu ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari
kesana-kemari. Sang Garuda kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa
dilakukan untuk menebus perbudakan ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang
Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan
para naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan
tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan
sampai di tempat tirta amert5a. Pada saat Sang Garuda ingin
mengambil tirta tersebut, Dewa wiusnu datang dan
bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah
kepadaku, nanti pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya
jika saya meminta kepada anda sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena
tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati, sedangkan saya tidak. Untuk itu,
berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu berkata,
“Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi
lambang panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga
akhirnya menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa
tirta, namun Dewa Indra tidak setuju kalau tirta
tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda
mengatakan bahwa tirta tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai
mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin
segera meminum amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa
tirta tersebut boleh diminum jika para naga mandi terlebih dahulu. Para naga
pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah selesai mandi,
tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa indra. Para naga kecewa
dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para naga pun
menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang
pun menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda
terbang ke surga karena merasa sudah menebus
perbudakan ibunya.
No comments:
Post a Comment