IDA BANGMANIK ANGKERAN
BERJUMPA DUKUH SAKTI BELATUNG
Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di
Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa
jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan tapa brata
yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak
sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan
sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan
Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci.
Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang
purnama, beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah,
Besakih. Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau
kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja
di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua
itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya
bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang
datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya
untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian
menaruh alat siangnya dan melompat duduk di atas alat itu seraya
mengambil sirih dan melumatkan sirih itu di atas alat siang tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum.
Namun Sang Bang Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi
pamer Ki Dukuh, karena jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu,
dihampirinya Ki Dukuh seraya berkata: "lh Bapak, kalau begini cara Bapak
bekerja, sepertinya bermain-main, sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?".
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: "Siapa pula anda
yang bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?".
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: "Ah saya ini Sang Bang
Manik Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini
sekarang menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu".
Berkata lagi Ki Dukuh: "Tidak mengerti saya, kalau
demikian halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru
sekarang saya mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi
ada brahmana menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina".
Sedikit marah Sang Bang berkata: "lh Bapak, jangan
berbicara sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau,
berhasil beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu,
bukan brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun
pekerjaan yang diperintahkan itu
menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida Bhatara yang memerintahkan.
Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa, serta dari golongan apa ?"
Ki Dukuh kemudian berkata: "Saya ini bernama Ki Dukuh
Belatung, sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di
sini".
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: "lh
Bapak Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak
bagaimanakan ? Tidak akan Bapak bersihkan ? "
"Akan saya bersihkan !".
"Bagaimana cara Bapak membersihkan ?"
"Akan saya bakar !"
"Apa yang akan Bapak pakai membakar ?"
"Wah, ini benar-benar brahmana aneh". Ki Dukuh
menjawab agak marah, apa lagi dipakai membakar, kalau bukan api. Lalu kalau Ida
Bagus apa yang dipakai membakar ?".
"Wah" demikian Sang Bang menjawab seperti
mencibir, "kalau Bapak Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak
daun kelapa kering jelas tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni,
yang berada di dalam diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja
sampah ini akan terbakar tidak bersisa"
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi
terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan
sembah "Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu,
bisa membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan
diri, serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba
serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu"
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih
kembali perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: "Nah, kalau benar
seperti perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya
sanggup datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa
Saksi".
"Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati
hamba yang ikhlas tidak akan ingkar dengan janji". Demikian hatur Ki
Dukuh.
"Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu
sanak keluarga serta rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan bukti di
hadapan Bapak". Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan
kepada anak, isteri serta keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik
Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan.
Yang mendengar semuanya sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah pada hari yang telah disepakati, pagi - pagi
hari Ida Sang Bang sudah membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta
kemudian melakukan yoga samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah.
Setelah melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal
Ki Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya
lengkap hadir, Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih,
ditemani dengan anak dan kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang
Bang. Setelah tepat benar matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat
sampah yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan
pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa
lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu.
Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar
semua sampah kebun di tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya,
sangat kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun
sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke
Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik
Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata
kepada Ki Dukuh: "Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan ganten.
Turuti asap itu ke arah timur laut"
Saat itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada
Meru bertingkat 11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta
dengan sikap angeranasika mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu
beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki
Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian
tidak nampak lagi. Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai
kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api,
sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan
terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga
Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan - penyucian oleh Ida Bang
Manik Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh
Sakti dikenal dengan gelar Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat
Ida Sang Bang Manik Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai
Gumawang,
Sekarang diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh
Sakti meninggal semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe,
diserahkan kepada lda Sang Bang, termasuk putri beliau yang merupakan seorang
dara yang bijak, cantik tiada bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau
itu sama-sama saling mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang
jejaka yang tampan bersanding dengan seorang dara yang jelita. Kemudian
diselenggarakan Upacara Perkawinan
Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman
di Besakih. Sesampai di Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki
menoleh ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis,
teringat akan ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan
perjalanan sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan
tempat beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan nama
Munduk Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada
perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta
sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat
kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai,
saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta
memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
IDA BANG MANIK ANGKERAN
BERJUMPA DENGAN BIDADARI
Tidak terasa berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri,
tatkala hari Purnama bulan ke sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman,
membawa tempat air serta seperangkat alat untuk mandi. Memang sudah menjadi
kebiasaan beliau setiap hari baik atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau
bepergian ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau berjalan naik perlahan sebab
merasa senang beliau melihat segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta
pula di berbagai tempat di daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka
rupa warnanya. Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai beliau menggumam
bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara
burung semakin ramai saling bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang
Pendeta. Beraneka macam memang suara burung itu. Semua itu menambah gembira
hati sang pendeta. Tahu-tahu beliau sudah berada dekat dengan tempat Tirtha
Pingit yang akan dituju.
Tiba-tiba beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau
seorang wanita sudah ada lebih dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan juga
akan mandi. Beliau Sang Pendeta lalu memperhatikan wanita itu. Demikian
cantiknya serta berwibawa wanita itu. Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya
beliau sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau,
di mana, siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala
itu, wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh.
Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau
mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan:
"Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok
sendiri di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar
manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?"
Menjawab wanita itu: "Inggih Sang Pendeta, yang sangat
bijaksana, hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia".
"Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari
?".
"Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan,
hamba memang bidadari dari Sorga".
"Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah
Bidadari, karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri".
"Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita,
kecantikannya yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan
dan keperwiraannya yang membuat orang kagum
serta bertekuk lutut di kakinya". Demikian kata Sang Bidadari.
Ketika mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu,
seperti terkena sindiran Sang Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya,
lalu beliau berkata: "Apa yang mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di
tengah hutan seorang diri ?" Menjawab Sang Bidadari: "Tidak ada yang
hamba cari. Kedatangan hamba ke sini, hanya bersenang-senang".
Apa yang menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk bersenang-senang.
Apakah di Sorga kurang tempat yang indah untuk bersenang-senang?"
"Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga, memang tidak kurang tempat yang indah. Tetapi
sebenarnya sekali, yang membuat hati ini senang, tidak tempat yang indah saja,
namun senang atau sedih, suka atau duka, hanya tergantung pada hati perasaan
kita masing-masing. Kalau seperti hamba, sekarang ini, hanya tempat ini yang
paling indah, yang bisa memberikan kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya
Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang
ke mari, mungkin ada sesuatu hal yang sangat indah di sini".
Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi
makin gugup, lalu kemudian beliau berkata lagi: "Memang betul tuan puteri
datang dari Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi
kagum hamba kepada tuan puteri".
"Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu
banyak l Ratu memuji diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu
muda". Demikian Sang Bidadari segera menjawab.
Setelah lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di
hati masing -masing sudah akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang
Pendeta memaksakan dirinya untuk berkata: "Duh Dewa Sang Bidadari,
perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan hamba tidak berkenan
di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan perasaan hamba
yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut baik
sekali".
Lalu menjawab Sang Bidadari: "Silakan Sang Pendeta, apa
yang akan tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang
Pendeta merasa ragu dan khawatir".
Berkata Sang Pendeta: "Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba
menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri.
Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan Puteri marah,
mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini .... diri hamba akan hamba
serahkan ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka
mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di
dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di sini".
Menjawab Sang Bidadari: "Ya kanda, sebelum hamba
menjawab keinginan kanda tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih dahulu
perihal kita berdua kala berada di Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda
diutus untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra,
dinda sudah memilih hubungan-bertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda
turun ke Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda
menunggu kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda
sekarang turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu
dengan kakanda, menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena
itu, kalau memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda
tidak lagi berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini
di dunia, semasih kakanda berada di sini".
Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu,
merasa gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak
merasa gembira perasaan beliau, seraya berkata: "Duh, permata hati kanda,
l Dewa, dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru
saja, kanda juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal
itu. Sekali lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena
demikian besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke
dunia ini, meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau
demikian, kanda sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di
kemudian hari, ke mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang
kanda ragukan dalam hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini
bersama kanda, apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari
para Dewa mencari dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak
karena kanda yang menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah
demikian berkenan memberikan anugerah kepada kanda".
Menjawab Sang Bidadari dengan senyum manis: "Ya kanda,
memang sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa
khawatir. Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga
dinda semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara.
Memang benar dinda sedikit bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena
janji Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini
ke dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja,
seyogyanya kanda sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang
sekejap, namun karena keras permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji
kepada Ida Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada
lain pekerjaan yang harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah yang
dikalahkan. Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau
ditinggalkan oleh kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon agar dinda diperkenankan
turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda. Mungkin permohonan dinda
dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon pamit serta
diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak lagi
menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti kelahiran
kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda bertemu
dengan palungguh kanda, seperti sekarang".
Memang demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada
kadibyacaksuana wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali:
"Jadi, kalau demikian halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini sudah
dinda ketahui ?"
"Ya, semua dinda ketahui".
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida
Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya
tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: "Namun semua itu merupakan titah
atau kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau
kanda tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat
Ida Sang Nagaraja, sebab tidak lama
kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat berkumpulnya angkara. Namun
Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada kanda, karena beliau sudah
pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur badan jasmani - stula sarira
kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti oleh beliau dengan badan
jasmani baik seperti sekarang ".
Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi:
"Dinda lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung.
Memang beliau sangat sakti matang sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada
kekurangan beliau sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan senang pujian.
ltu sebabnya beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing
kanda. Namun sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki
Dukuh tidak tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil kanda akan
memperlihatkan kesaktian membakar sampah di hutan dengan memakai air kencing,
yang menjadi jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab kalau kanda yang langsung
bertindak lebih dahulu, jadi kanda akan dianggap mendahului dan berlaku kurang
senonoh. Kesaktian yang kemudian memunculkan hal yang tidak baik jelas akan
hilang keutamaannya". Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka
beliau sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: "Ah,
muda-mudanya mereka yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan
dengan yang ada di dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening
hati kanda tanpa ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju
Pasraman. Namun jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga".
Cepat berkata Sang Bidadari: "Janganlah itu lagi
disinggung. Bisa bertemu dengan kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat dan
lebih bahagia dibandingkan dengan di Sorgaloka".
Singkat ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang
Pendeta dengan Sang Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan,
berprabawa cerdas, mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang
Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta
Batusesa, semakin subur makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya
semakin bhakti rakyat di sana kepada Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan
Besakih, ada pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana
yang bernama Ki Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta,
Danghyang Bang Manik Angkeran, karena anugerah beliau memberikan pelajaran
tatwa, pengetahuan serta kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya
Ki Pasek menghaturkan puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita
yang cantik jelita, sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek
sekeluarga sampai kelak di kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki
isteri, semuanya menjadi wikuni - pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda
mantra serta pula melaksanakan tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya - Ni Luh
Murdani, lahir seorang putera Iaki-laki, yang juga berprabawa agung, tampan,
dinamai Ida Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga:
Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat
ceritera, semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang
bijak, maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat
berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan
oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang
Kamahayanikan, Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni
dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar
kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga Utama. Serta oleh Sang Pandita,
putranya diberikan nasehat mengenai Putra Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna.
Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik- baik ditekuni oleh Sang Tiga.
Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan
kepada para putera itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke
desa-desa memberikan nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat
banyak ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih
di pura-pura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
No comments:
Post a Comment